sikap kristen terhadap kebudayaan yang tepat adalah
Berikutini adalah yang menggambarkan cinta tanah air yang akan membangkitkan sikap pengorbanan diri demi kebaikan bangsa dan negara adalah. a)Menyiapkan diri untuk membela bangsa dan negara ketika keadaan darurat muncul. b)Siap membela negara yang tepat. c)Merasa siap untuk memberikan jiwa dan raga kepada kepentingan bangsa.
Gayakomunikasi. Komunikasi dapat menjadi rumit di Korea Selatan karena mereka tidak suka mengatakan 'tidak'. Mengatakan "tidak" dianggap etiket yang buruk. Menolaklah dengan cara yang halus. Postur tubuh yang baik dan bahasa tubuh yang positif sangat bermanfaat dalam komunikasi. Kesabaran dan kesopanan harus dipertahankan.
Dilansirdari Encyclopedia Britannica, perhatikan gambar di samping!sikap yang tepat terhadap salah satu budaya bangsa di samping adalah d. mempelajari dan melestarikannya. Kemudian, saya sangat menyarankan anda untuk membaca pertanyaan selanjutnya yaitu Bacalah ilustrasi berikut!Pertunjukan kesenian Tanjidor biasa ditampilkan pada acara
1 Coleman dan Cressey. Etnosentrisme adalah seseorang yang berasal dari kelompok etnis yang cenderung melihat budaya mereka sebagai yang terbaik dibandingkan dengan sifat kebudayaan yang lainnya. 2. Hogg. Etnosentrisme merupakan kegiatan yang melibatkan atribusi internal dan eksternal dalam kehidupan masyarakat. 3.
Pengkajianbudaya dalam pemberian asuhan keperawatan maternitas akan sangat bermanfaat untuk menjaga mutu pelayanan kesehatan. Manfaat yang akan diperoleh seperti: Dapat meningkatkan efektifitas pelayanan kesehatan, sehingga dapat mengatasi masalah kesehatan dengan tepat sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi dan ataupun standar yang telah
Dialogue En Espagnol Entre Deux Personnes Qui Se Rencontre. Studi tentang Kekristenan dunia dimulai dengan premis dasar bahwa Kekristenan adalah, dan sejak awal telah menjadi, agama lintas budaya dan beragam tanpa ekspresi dominan tunggal. Sepanjang sejarah, semua orang Kristen telah hidup dalam konteks budaya tertentu, yang mereka miliki, dalam derajat yang berbeda-beda, dipeluk dan ditolak. Terlepas dari sikap positif atau negatif terhadap budaya sekitarnya, semua orang Kristen harus menanggapi konteks sekitarnya. Dalam umat Kristiani dengan banyak dan beragam tanggapan itulah Kekristenan memperoleh tekstur multi-budaya dan polivokal yang unik sebagai agama dunia. Orang-orang Kristen yang memeluk budaya sekitarnya menggunakan bahasa, musik, bentuk seni, dan ritual asli sebagai sumber daya yang kuat untuk tujuan mereka sendiri. Umat Kristen memiliki sejarah mengambil apa yang bukan Kristen, dan kemudian mengisinya dengan makna Kristen. Ada contoh klasiknya Umat Kristen mewarisi jubah Romawi dan pohon Natal Jerman. Namun bahkan pada tingkat yang lebih dasar, orang Kristen meminjam bahasa pra-Kristen dan menggunakannya untuk tujuan Kristen. Yesus tidak berbicara bahasa Yunani, Latin, atau Inggris, namun masing-masing bahasa tersebut telah digunakan untuk menceritakan kisahnya dan mengajarkan pesannya. Ketika agama Kristen terus menemukan rumah dalam pengaturan budaya baru, orang Kristen terus meminjam bahasa dan budaya baru untuk menceritakan kisah Yesus. Bagi orang-orang Kristen yang mengambil pendekatan yang lebih berhati-hati terhadap budaya sekitarnya, pesan mereka akan menjadi salah satu peringatan. Namun demikian, reaksi terhadap budaya bisa sama kuatnya dengan pembentukan identitas seperti halnya budaya penerima. Jadi, orang Kristen sepanjang waktu menentang alkohol, poligami, perceraian, aborsi, dan banyak sekali masalah lainnya. Secara alami, fakta bahwa Kekristenan adalah polivokal dan multikultural mengarah pada banyak jawaban berbeda vis-à-vis budaya. Beberapa orang Kristen mungkin menolak praktik tertentu sementara yang lain dengan senang hati menerimanya. Perdebatan tentang etika dan praktik bersifat intrinsik dalam sifat multikultural agama Kristen. Oleh karena itu, para Yesuit tidak melihat ada salahnya orang-orang Cina yang pindah agama menghormati leluhur mereka, sementara para Domincan dan Fransiskan menyebutnya penyembahan berhala. Para misionaris Barat di Afrika lebih sering daripada tidak secara tegas menentang poligami, sementara para pemimpin Gereja adat kadang-kadang lebih bersedia untuk menerima kemungkinan itu. Di dunia saat ini, pertanyaan tentang gender dan seksualitas memicu perdebatan di antara orang Kristen lintas budaya. Namun ini tidak berarti bahwa Kekristenan tidak memiliki inti dan sepenuhnya ditentukan oleh budaya sekitarnya. Sebaliknya, di pusat Kekristenan Dunia adalah sebuah cerita. Ini adalah kisah tentang hubungan antara Tuhan dan dunia, seperti yang diceritakan melalui lensa Yesus Kristus. Teladan, pengaruh, dan realitas Yesus telah memberikan titik temu bagi semua tradisi Kristen. Generasi Kristen di seluruh dunia telah diliputi oleh pertanyaan, “siapakah Yesus?” Dan juga “apa arti hidupnya bagi kita?” Umat Kristen lintas budaya juga berbagi berbagai ritual — baptisan, Perjamuan Tuhan, berkumpul untuk beribadah, dan membaca serta merenungkan kitab suci. Kunjungi Blog Sponspor Kami Jadi, studi tentang Kekristenan dunia mempertanyakan apa yang membuat orang Kristen unik sebagai kelompok individu dan koheren secara keseluruhan. Ini berusaha untuk memahami penyebab perpecahan dan konflik baik di dalam komunitas Kristen dan juga dengan dunia yang lebih luas. Ketika orang Kristen menjadi semakin sadar akan perbedaan budaya mereka, studi tentang Kekristenan Dunia akan menyediakan alat untuk menavigasi keanekaragaman. Ini juga, mudah-mudahan, akan memberikan ruang dan platform untuk mendiskusikan perbedaan kita dan menemukan kesamaan.
ArticlePDF Available AbstractGereja Kristen Jawa GKJ adalah gereja yang lahir buah penginjilan para misionaris Barat dalam hal ini Belanda di tanah Jawa. Peri kehidupan bergereja diatur sedemikian rupa berdasar dogma gereja Belanda. Latar belakang tersebut menyebabkan GKJ tercerabut dari akar budaya sehingga segala praktik yang berkaitan dengan adat istiadat Jawa tidak diizinkan masuk wilayah pelayanan tersebut menjadi data kajian dalam tulisan ini sehingga tampak wajah baru GKJ yang pada akhirnya menerima budaya sebagai bagian integral pelayanan gereja. Kajian dari perspektif sejarah menunjukkan kehidupan GKJ yang mengalami perubahan paradigma khususnya terkait budaya. Analisis atas fenomena GKJ menghasilkan deskripsi autentik landasan GKJ membuka paradigma praktik bergereja sehingga menerima budaya menjadi bagian integral pelayanan gereja. Melalui paradigmanya yang baru, GKJ semakin berbenah dan semakin terbuka dalam memanifestasikan budaya Jawa sebagai kekuatan gereja untuk menghadirkan diri menjadi bagian holistik masyarakat Jawa. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Vol 4, No 1, September 2021; 60-81 ISSN 2654-5691 online; 2656-4904 print Available at Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print60 Pandangan Gereja Kristen Jawa GKJ Terhadap Budaya Dalam Konteks Masyarakat Jawa Uri Christian Sakti Labetiuri_christ Abstract The Javanese Christian Church GKJ is a church that was born as the fruit of evangelism by Western missionaries in this case the Netherlands in Java. The fairy life of the church is arranged in such a way based on the dogma of the Dutch church. This background caused GKJ to be uprooted from its cultural roots so that all practices related to Javanese customs were not allowed to enter the church's service area. This history becomes the study data in this paper so that a new face of GKJ appears which ultimately accepts culture as an integral part of church ministry. The study from a historical perspective shows that GKJ's life has undergone a paradigm shift, especially regarding culture. The analysis of the GKJ phenomenon produces an authentic description of the basis of GKJ opening the paradigm of church practice so that it accepts culture as an integral part of church service. Through its new paradigm, GKJ is getting better and more open in manifesting Javanese culture as the power of the church to present itself as a holistic part of Javanese society. Keywords GKJ; anti-culture; the novelty of the paradigm; culture in church practice Abstrak Gereja Kristen Jawa GKJ adalah gereja yang lahir buah penginjilan para misionaris Barat dalam hal ini Belanda di tanah Jawa. Peri kehidupan bergereja diatur sedemikian rupa berdasar dogma gereja Belanda. Latar belakang tersebut menyebabkan GKJ tercerabut dari akar budaya sehingga segala praktik yang berkaitan dengan adat istiadat Jawa tidak diizinkan masuk wilayah pelayanan gereja. Sejarah tersebut menjadi data kajian dalam tulisan ini sehingga tampak wajah baru GKJ yang pada akhirnya menerima budaya sebagai bagian integral pelayanan gereja. Kajian dari perspektif sejarah menunjukkan kehidupan GKJ yang mengalami perubahan paradigma khususnya terkait budaya. Analisis atas fenomena GKJ menghasilkan deskripsi autentik landasan GKJ membuka paradigma praktik bergereja sehingga menerima budaya menjadi bagian integral pelayanan gereja. Melalui paradigmanya yang baru, GKJ semakin berbenah dan semakin terbuka dalam memanifestasikan budaya Jawa sebagai kekuatan gereja untuk menghadirkan diri menjadi bagian holistik masyarakat Jawa. Kata-kata kunci GKJ; anti budaya; kebaruan paradigma; budaya dalam praktik bergereja Pasca Institut Agama Kristen Negeri Ambon Jurnal Teologi Berita Hidup, Vol 4, No 1, September 2021 Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print61 PENDAHULUAN Usaha pekabaran Injil yang dilakukan oleh orang-orang Eropa di wilayah Nusantara terjadi pada abad XVII-XIX, khususnya di Indonesia wilayah Timur. Pada dasawarsa pertama abad XIX, usaha pekabaran Injil tersebut mulai merambah wilayah Barat bumi Nusantara. Tanah Jawa menjadi salah satu destinasi kedatangan para penginjil dari Belanda untuk memperkenalkan kekristenan kepada orang-orang Jawa yang saat itu masih menganut agama lokal. Lombard mencatat bahwa upaya orang-orang Belanda memperkenalkan kekristenan sebagai sebuah kenyataan sejarah yang menampakkan keterbukaan orang-orang Jawa terhadap agama baru tersebut. Usaha tersebut membuahkan hasil yang cukup signifikan. Orang-orang Jawa yang berada di wilayah Jawa Tengah bagian Selatan, saat itu menerima kekristenan sebagai kebaruan spiritual selain kearifan lokal yang telah diyakini, sehingga pada tanggal 17 Februari 1931 dalam Sidang Sinode pertama yang diadakan di Kebumen, secara resmi berdirilah gereja-gereja dengan nama diri Pasamoewan Gereformeerd Djawi Tengah Gereja Gereformeerd di Jawa Tengah yang kemudian berubah menjadi Gereja Kristen Jawa GKJ.Berdasarkan dokumen sejarah, tercatat bahwa pada tahun 1939 GKJ terdiri atas 65 gereja yang tergabung dalam 7 klasis semuanya ada di wilayah Jawa Tengah bagian Selatan dengan jumlah jemaat berikutnya bahwa pada tahun 1960, GKJ mengalami perkembangan cukup signifikan sehingga pada tahun tersebut jumlah gereja menjadi 104, jumlah klasis menjadi 11, dan jumlah jemaat berkembang menjadi ini, jumlah gereja yang ada dalam wilayah pelayanan GKJ adalah 331 gereja, 32 klasis, dengan jumlah jemaat mencapai orang. Dibandingkan data tahun 1939 persebaran GKJ yang awalnya di wilayah pesisir Selatan Jawa Tengah, sekarang telah tersebar di 6 provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dan Banten. Persebaran tersebut tentunya berdampak terhadap perjumpaan gereja dengan budaya-budaya yang ada di sekitarnya. Dengan Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya Bagian I Batas-batas Pembaratan Jakarta Gramedia, 2008. Soekotjo, Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa Jilid 1 Yogyakarta Taman Pustaka Kristen, 2009. Sinode Secara etimologi berasal dari kata syn dan hodos yang artinya berjalan bersama. Secara umum sinode adalah perkumpulan gereja-gereja yang seasas atau sealiran. Secara khusus dalam perspektif GKJ sinode adalah bentuk persidangan yang lebih luas daripada persidangan gereja setempat maupun persidangan klasis. Klasis adalah perhimpunan gereja dalam jumlah tertentu dan dalam suatu wilayah tertentu himpunan dalam satu kota atau satu kabupaten. Soekotjo, Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa Jilid 2 Yogyakarta Taman Pustaka Kristen, 2010. Labeti Pandangan Gereja Kristen Jawa GKJ Terhadap Budaya Dalam Konteks Masyarakat Jawa Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print62 demikian, GKJ harus memiliki sikap yang bijaksana dalam mengemban misi surgawi yaitu damai sejahtera dalam kehidupan bersama di tengah pluralitas kultur gereja berada. Mengacu persebaran gereja tersebut, diskursus tentang Injil dan budaya lokal menjadi perhatian GKJ, sehingga terdapat kajian-kajian ilmiah terkait keberadaan gereja di tengah konteks masyarakat Jawa. Sastrokasmojo menyatakan bahwa sejak lahir dan tumbuhnya GKJ, hal Injil dan kebudayaan menjadi dialektika yang tidak pernah berhenti. Antara konsep ajaran gereja dengan praktik adat-istiadat orang-orang Jawa Kristen sering kali menjadi dua kutub yang paradoks. Küster juga menyatakan bahwa ketegangan antara Injil dan kebudayaan dapat menyebabkan pandangan gereja yang sangat eksklusif terhadap budaya sehingga tidak akan terjadi dialektika antara keduanya. Terdapat pandangan bahwa gereja adalah wilayah suci karena diterangi oleh Injil, di sisi lain kebudayaan yang bukan berdasar Injil adalah hasil olah karsa dan karya manusia sendiri yang tidak diterangi kebenaran Injil. Maka Küster menawarkan mediasi antara kedua hal tersebut dengan perangkat keilmuan yang tepat sehingga muncullah sikap gereja yang lebih terbuka terhadap dengan sikap kekristenan terhadap budaya, Niebuhr menyatakan bahwa kebudayaan adalah “lingkungan buatan” yang diciptakan manusia berdasarkan fenomena dan konteks yang dihadapi suatu komunitas, sehingga termanifestasikan di dalam bahasa, kebiasaan, ide, sistem kepercayaan, adat istiadat, tata organisasi sosial, proses teknis, dan juga nilai-nilai yang dihidupi oleh komunitas persidangan-persidangan gerejawi, pergumulan tentang pandangan gereja terhadap persoalan adat istiadat maupun budaya Jawa menjadi perhatian yang cukup serius. Hal tersebut menunjukkan bahwa GKJ berupaya untuk terus mendialogkan antara Injil dan budaya sehingga tidak terjadi ketegangan yang cukup tajam bahkan menghambat panggilan bergereja di tengah dunia yaitu mendatangkan damai sejahtera dalam kehidupan bersama. Dalam dokumen-dokumen persidangan sinode hal yang terkait gamelan, wayang, kendhurèn, khitan, dan praktik-praktik adat istiadat Jawa lainnya ditempatkan menjadi persoalan yang perlu didialogkan dengan arif; dalam arti tidak mengesampingkan inti Injil namun juga tidak mengurangi makna dari produk budaya maupun praktik adat istiadat dalam kehidupan orang-orang GKJ. Padmono Sastrokasmojo, Gendhing Gerejawi Perjumpaan Kekristenan dengan Agama Islam dan Budaya Jawa Yogyakarta Duta Wacana University Press, 2017. Volker Küster, The Many Faces of Jesus Christ London SCM Press, 1999. N. Richard Niebuhr, Kristus dan Kebudayaan Jakarta Yayasan Satya Karya, Jurnal Teologi Berita Hidup, Vol 4, No 1, September 2021 Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print63 Dalam menjalani tugas panggilannya di dunia, setiap gereja pasti menghadapi dinamika pelayanan, demikian juga dalam sejarah pelayanan GKJ. Sekalipun nama diri GKJ menggunakan kata Jawa, namun dalam praktiknya kejawaan tersebut masih perlu untuk diidentifikasi atau dideskripsikan dengan tepat, sehingga kata Jawa tersebut bukan hanya sekedar identitas yang tanpa makna. Oleh karena itu pertanyaan yang muncul akibat diskursus Injil dan budaya dalam perspektif GKJ adalah sebagai berikut. 1. Apakah dasar penolakan gereja Belanda terhadap budaya Jawa? 2. Bagaimanakah upaya GKJ dalam menjawab persoalan Injil dan kebudayaan? 3. Bagaimanakah praktik Injil dan budaya dalam perspektif GKJ pada masa kini? Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan rangkaian sejarah pemikiran GKJ dalam menyikapi posisi gereja untuk menjawab pergumulan terkait dengan budaya. Jembatan antara Injil dan budaya adalah bangunan paradigma gereja terhadap budaya itu sendiri diterangi oleh Alkitab. Hanya dengan langkah upaya interpretasi ulang terhadap teks Alkitab, maka kajian atau pun konsep berpikir tentang budaya yang dimiliki gereja tentu akan menjadi pijakan sikap gereja terhadap budaya masyarakat. Demikian hal yang diusulkan Schreiter kepada gereja, agar gereja mau “mendengarkan” budaya; dalam arti gereja membuka diri untuk senantiasa mendialogkan Injil dan budaya sesuai dengan zamannya. Usulan Schreiter tersebut, dalam konteks sejarah GKJ mulai tahun 1931 memang masih sangat sulit untuk dilakukan GKJ. GKJ masih memegang warisan teologi Barat yang beranggapan bahwa kebudayaan Barat lebih tinggi kedudukannya daripada budaya Timur. Banawiratma menegaskan konsep pemikiran Barat yang superior tersebut dengan menggambarkan adanya dua kutub tradisi yang berseberangan yaitu tradisi besar great tradition dan tradisi kecil little tradition atau juga disebut dengan high culture dan low culture. Sikap membedakan budaya yang tinggi dan yang rendah tersebut merupakan internalisasi dari pengajaran yang diyakini, perbedaan kultur, dan pandangan dunia Barat terhadap orang-orang Timur. Itulah sebabnya antara Injil yang dibawa dari Belanda dengan budaya konteks masyarakat Timur perlu terus didialogkan. Di satu sisi GKJ adalah gereja yang ditanamkan plantatio ecclesia misionaris Belanda di tanah Jawa, di sisi lain orang-orang GKJ adalah orang-orang Jawa yang pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari budayanya sendiri. Robert J. Scheiter, Rancang Bangun Teologi Lokal Jakarta PT. BPK Gunung Mulia, 1993. J. B. Banawiratma, Yesus Sang Guru Pertemuan Kejawen dengan Injil Yogyakarta Yayasan Kanisius, 1977. Labeti Pandangan Gereja Kristen Jawa GKJ Terhadap Budaya Dalam Konteks Masyarakat Jawa Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print64 METODE Pendekatan fenomenologi adalah salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan sikap GKJ terhadap seni, budaya, maupun adat istiadat dalam praktik bergereja GKJ. Dahlstorm berpendapat bahwa fenomenologi merupakan studi tentang kesadaran atau berbagai macam pengalaman kesadaran yang berdasar sudut pandang sumber primer. Lebih lanjut Dahlstorm mengatakan bahwa fenomenologi merupakan kesadaran mental atau suatu tindakan yang dapat dilihat berdasarkan pengalaman dari pelaku tindakan tersebut. Demikian pula yang dikatakan Kronegger, bahwa fenomenologi merupakan cara atau gaya berpikir; sehingga berpikir dengan pendekatan fenomenologi adalah suatu godaan dari pengalaman diri sendiri yang terkait dengan dunia yang lebih luas. Dengan menggunakan pendekatan fenomenologi akan dipaparkan dasar penolakan gereja Belanda terhadap budaya sampai dengan perkembangan paradigma GKJ yang menerima budaya sebagai bagian integral dalam pelayanan gereja, sehingga akan tampak jelas peran Injil yang melandasi usaha GKJ berdialog dengan budaya. HASIL DAN PEMBAHASAN Ditinjau dari perspektif sejarah, GKJ mengalami pasang surut wacana dalam menjawab kejawaan yang menjadi identitas GKJ. Dapat digambarkan bahwa pada awalnya GKJ dipengaruhi pengajaran-pengajaran dari Belanda yang memisahkan Injil dan budaya. Namun, kesadaran untuk memosisikan diri menjadi gereja Kristen yang berbasis budaya Jawa menyebabkan konsep bergereja GKJ mengalami transformasi paradigma. Gereja Barat Lebih Mulia daripada Jawa Hermeneutika Alkitab Gereja Belanda pada Abad XVIII Misi kedatangan misionaris Belanda ke tanah Jawa memang bertujuan memperkenalkan orang-orang Jawa terhadap Injil. Dorongan untuk melakukan misi tersebut berdasar sabda Yesus sendiri yang tercatat dalam Injil Matius 2819, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus.” Sabda tersebut dimaknai sebagai mandat untuk menjadikan bangsa-bangsa di luar Belanda sebagai bangsa yang percaya kepada Yesus Kristus melalui agama Kristen. Berdasarkan ayat tersebut, misionaris Belanda menggunakan terminologi “memenangkan O Dahlstrom, Daniel, Philosophy of Mind and Phenomenology Conceptual and Empirical Approach New York Routledge, 2016. Marlies Kronegger, Phenomenology and Aesthetics Dordrecht The Netherlands Kluwer Academic Publisher, 1991. Jurnal Teologi Berita Hidup, Vol 4, No 1, September 2021 Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print65 jiwa-jiwa bagi Yesus.” Terminologi tersebut digunakan para misionaris untuk menekankan bahwa kedudukan Injil tidak dapat disejajarkan dengan kebudayaan bahkan agama lain. Injil tidak boleh dicampuradukkan dengan hal yang lain sehingga tidak akan terjadi sinkretisme. Injil adalah wilayah suci yang berasal dari Surga baik itu melalui pewahyuan secara tidak langsung karena adanya internalisasi iman para nabi serta tokoh Alkitab pengilhaman organik. Injil yang suci juga berasal dari pewahyuan secara langsung pengilhaman mekanik melalui para nabi maupun tokoh Alkitab yang menerima secara langsung wahyu tersebut dari Tuhan. Dasar penafsiran Alkitab yang demikian menumbuhkan sikap beragama yang eksklusif, sehingga bukan hanya pandangan gereja terhadap agama lain yang merupakan the others dari gereja; tetapi juga berdampak pandangan gereja terhadap budaya. Dalam buku Katekismus Heidelberg dokumen tentang ajaran Agama Kristen produk bapa gereja abad XV pada pertanyaan minggu 11 dinyatakan Anak Allah yang disebut Yesus Kristus sebagai Juru Selamat merupakan satu-satunya jalan keselamatan bagi manusia, sehingga tidak ada jalan keselamatan lain yang dapat membawa manusia kepada keselamatan sempurna baik itu itu kepercayaan, agama lain, maupun kebudayaan manusia. Agama Kristen lebih tinggi kedudukannya daripada agama lain, sehingga iman Kristen adalah iman yang paling benar di antara berbagai kepercayaan atau agama yang ada di dunia. Implikasi dari proses tafsir yang demikian menyebabkan gereja berpandangan bahwa agama lain termasuk kebudayaan manusia berada dalam wilayah profan. Demikian pula kebudayaan Jawa yang tidak bersumber dari Alkitab, sehingga gereja menganggap bahwa tatkala umat bersentuhan dengan budayanya sendiri maka mereka berada dalam wilayah tidak suci bahkan diberi stigma golongan yang berdosa serta pantas mendapatkan sanksi dalam hal ini hukuman secara kelembagaan gereja. Hermeneutika gereja Belanda yang demikian berdampak terhadap pandangan para misionarisnya bahwa kebudayaan mereka yang diterangi oleh Injil tergolong kebudayaan tinggi high culture karena praktik-praktik kebudayaan mereka tidak bertentangan dengan Injil. Kemuliaan dalam perspektif iman gereja Belanda dilandasi oleh adanya superioritas iman karena kepercayaan mereka bersumber pada kebenaran sejati dan satu-satunya, berbeda dengan kebenaran yang diakui serta dipercaya oleh orang-orang Jawa konsep Pradjarta Dirjosanjoto, Sumber-sumber tentang Sejarah Gereja Kristen Jawa 1896-1980 Salatiga Sinode GKJ, 2008. Tim, Pengajaran Agama Kristen Katekismus Heidelberg Salatiga Sinode GKJ, 1983. Dirjosanjoto, Sumber-sumber tentang Sejarah Gereja Kristen Jawa 1896-1980. Labeti Pandangan Gereja Kristen Jawa GKJ Terhadap Budaya Dalam Konteks Masyarakat Jawa Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print66 Sangkan Paraning Dumadi atau asal mula segala sesuatu atau dalam bahasa teknis agama disebut dengan Tuhan. “Budaya Tinggi” versus “Budaya Rendah” Sikap gereja yang eksklusif berdasar penafsiran Alkitab berdampak secara langsung terhadap pandangannya terhadap budaya Jawa. Para misionaris Belanda dengan tegas menandaskan bahwa segala bentuk budaya yang tidak berasal dan tidak diterangi Injil adalah budaya kafir. Pandangan tentang budaya Jawa adalah kafir karena para praktiknya budaya Jawa masih erat terkait dengan ritual-ritual yang bertentangan dengan pengajaran Injil. Sutrisno mengatakan bahwa pandangan budaya dalam suatu komunitas akan berdampak terhadap dua pandangan yaitu yang sacred dan yang profan. Oleh karena itu yang profan mau tidak mau harus tunduk kepada yang sacred sehingga eksistensi kebenaran menjadi tampak. Gereja menempatkan diri sebagai pihak yang berbudaya, sementara orang-orang Jawa yang mempraktikkan budaya nenek moyang mereka adalah golongan orang yang tidak berbudaya. Dua kutub yang paradoks tersebut menjadi realitas dalam sejarah gereja. Budaya Jawa adalah Budaya Okultisme Niebuhr menyitir pendapat Tolstoi bahwa bagaimana pun juga kebudayaan selalu bersifat kafir dan jahat, karena kebenaran dan kesempurnaan absolut hanyalah Yesus Tolstoi tersebut sejalan dengan pandangan gereja Belanda pada abad XVIII sehingga mereka memandang bagaimana pun juga eksistensi budaya Jawa adalah budaya yang kafir dan jahat. Dalam dokumen misionaris tahun 1896 dinyatakan bahwa orang-orang Jawa harus diselamatkan dari kepalsuan iman; mereka adalah orang-orang yang sudah dirasuki takhayul dan juga melakukan praktik penyembahan terhadap orang Jawa terhadap manifestasi budayanya tentu disebabkan karena orang-orang Belanda tidak dapat memahami dunia pemikiran Timur yang bersumber pada komunikasi antara makro kosmos jagat raya yang diinternalisasikan dalam mikro kosmos diri manusia sendiri. Demikian pula pandangan misionaris Belanda tentang adanya praktik penyembahan berhala, tentu didasari oleh alam pikir Barat yang lebih maju mensistematisasikan imannya dalam bahasa-bahasa teknis agama yang lebih akademis ketimbang orang-orang Jawa. Mudji Sutrisno, Teori-teori Kebudayaan Yogyakarta PT. Kanisius, 2005. Niebuhr, Kristus dan Kebudayaan. Dirjosanjoto, Sumber-sumber tentang Sejarah Gereja Kristen Jawa 1896-1980. Jurnal Teologi Berita Hidup, Vol 4, No 1, September 2021 Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print67 Budaya Jawa adalah Budaya yang Menghambat Pertumbuhan Iman Umat Tuhan Hal paradoks antara yang gereja yang suci dan budaya yang profan tidak pernah mengalami titik temu untuk mencari jembatan yang bijak atas kedua kutub tersebut. Orang-orang Jawa Kristen yang telah berhasil melepaskan budaya Jawa dalam kehidupan kekristenan dinilai sebagai orang-orang berhasil dalam iman ketika dikomparasikan dengan sesamanya orang Jawa yang belum menjadi Kristen. Perilaku orang Kristen yang lepas dari budaya Jawa diterjemahkan sebagai sebuah devosi terhadap kekristenan yang diperkenalkan oleh misionaris Belanda. Dalam dokumen persidangan sinode tahun 1929, terdapat laporan yang menyatakan bahwa orang-orang Jawa Kristen sangat tunduk terhadap Alkitab sehingga mereka tidak pernah lagi melakukan praktik-praktik budaya nenek moyang demikian dapat dikatakan bahwa menurut pandangan gereja Belanda praktik hidup orang Jawa Kristen yang telah melepaskan budaya nenek moyang mereka merupakan titik pijak kemajuan iman yang berlandaskan kebenaran absolut yaitu Yesus dan Alkitab. Masa GKJ Tercerabut dari Akar Budaya Sejak tahun 1931 sampai sekitar tahun 1950, segala bentuk praktik budaya Jawa tidak diperkenankan dilakukan oleh orang-orang Jawa Kristen; demikian pula budaya tidak diperkenankan masuk dalam wilayah ibadah gereja. Bentuk-bentuk kebudayaan yang dijauhkan misionaris dari praktik kehidupan orang-orang GKJ di antaranya sebagai berikut. Sunat Sunat atau khitan dapat ditemukan dasarnya di Alkitab khususnya dalam tradisi Perjanjian Lama zaman sebelum Yesus datang ke dunia khitan merupakan inisiasi seseorang masuk agama Yahudi. Menyitir pendapat Sastrokasmojo, dalam tradisi Islam khitan juga digunakan sebagai tanda seorang anak menjadi Islam, maka dalam undangan khitanan dituliskan “akan mengislamkan anak saya.” Setidaknya tradisi sunat atau khitan jika dirunut dari sisi sejarah terdapat juga di dalam kesaksian Kitab Suci. Dalam pandangan Kristen seperti yang diyakini oleh misionaris Belanda, orang Kristen tidak perlu disunat atau dikhitan lagi karena segala dosa maupun kesalahan manusia sudah ditanggung Yesus Kristus dalam peristiwa penyaliban-Nya. Ayat Alkitab seperti yang tertulis dalam kitab Kolose 211 menegaskan bahwa orang Kristen telah disunatkan dalam arti telah disucikan hidupnya dari dosa melalui peristiwa kesengsaraan, kematian, dan Sastrokasmojo, Gendhing Gerejawi Perjumpaan Kekristenan dengan Agama Islam dan Budaya Jawa. Labeti Pandangan Gereja Kristen Jawa GKJ Terhadap Budaya Dalam Konteks Masyarakat Jawa Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print68 kebangkitan Yesus Kristus. Itulah sebabnya gereja Belanda anti terhadap budaya sunat atau khitan karena orang Kristen telah ditanggung “sunat”nya melalui peristiwa sejarah Yesus Kristus, sehingga dengan pandangan teologi yang demikian berdampak orang-orang GKJ dilarang mengkhitankan anaknya. Menonton atau Menanggap Wayang Wayang merupakan seni tradisi warisan leluhur yang menggambarkan kehidupan manusia. Petuah atau nilai-nilai kehidupan ditampakkan dalam adegan-adegan yang dimainkan oleh seorang dalang. Menyitir pendapat Arnold Hauser, Suparno mengatakan bahwa wayang juga digunakan sebagai media dakwah sehingga Islam tersebar luas di tanah Jawa. Rombongan wayang kulit tersebar di wilayah Utara pesisir Jawa yang sebagian besar masyarakatnya beragama pandangan misionaris Belanda, wayang berkaitan dengan dunia roh nenek moyang. Wayang juga digunakan sebagai media untuk meruwat atau membersihkan energi-energi negatif yang dapat mengganggu kehidupan manusia wayang untuk ruwatan. Sastrokasmojo menyatakan juga bahwa wayang terkait dengan keagamaan orang Jawa sehingga pagelaran wayang dipandang sebagai media perjumpaan antara orang yang masih hidup dengan arwah dasar pemahaman yang demikian, misionaris Belanda dengan tegas menyatakan bahwa menonton bahkan menanggap wayang merupakan bentuk kekafiran. Dalam pandangan mereka, dunia roh sudah dikalahkan oleh kuasa Yesus Kristus sehingga manusia yang masih hidup tidak perlu bersinggungan dengan dunia roh. Apapun juga alasan bagi orang-orang GKJ untuk menonton, menanggap, bahkan memainkan wayang maka mereka sudah membawa diri pada kondisi tidak selamat berdosa. Menabuh Gamelan Gamelan merupakan alat musik tradisional Jawa dengan laras sléndro dan pélog. Gamelan digunakan masyarakat Jawa dalam perhelatan tertentu misalnya seseorang yang punya hajat resepsi pernikahan, upacara tertentu misalnya Sekaten, pementasan wayang, dan sebagainya. Jika ditinjau dari perspektif sejarah, Supanggah mengatakan bahwa gamelan merupakan proyeksi dari tradisi zaman pra Hindu yang tampak melalui tradisi nenek moyang orang Jawa yaitu dengan mengadakan ritual di gua-gua oleh syaman yang kemudian T. Slamet Suparno, Pakeliran Wayang Purwa Dari Ritus sampai Pasar Surakarta ISI Press Solo, 2011. Sastrokasmojo, Gendhing Gerejawi Perjumpaan Kekristenan dengan Agama Islam dan Budaya Jawa. Jurnal Teologi Berita Hidup, Vol 4, No 1, September 2021 Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print69 menjadi dalang, boneka dari daun atau rumput yang kemudian menjadi wayang, menggunakan dinding gua yang kemudian menjadi kelir, dan bunyi-bunyian atau nyanyian atau matram yang kemudian menjadi gamelan. Semua unsur tersebut pada akhirnya menjadi pagelaran wayang kulit purwa. Dari pandangan Supanggah tersebut, jelas bahwa gamelan merupakan bagian dari ritual pemujaan kepada roh nenek moyang yang telah ada sejak zaman pra Hindu. Dari perspektif Kristen, Sastrokasmojo mengatakan bahwa menurut orang Eropa mendengarkan gamelan Jawa sama dengan memberi diri untuk dibius oleh “suara setan.”Pendapat Sastrokasmojo tersebut senada dengan pernyataan Supanggah bahwa dalam tradisi Jawa gong biasanya diberi nama khusus dengan sebutan kyai atau nyai, panji gamelan harus menyediakan sesaji, ritual selamatan, dan berpuasa sebelum membuat gong telah selesai dan akan digunakan, maka akan ditempat di gantungan kayu yang di atasnya diberi simbol naga. Ritual maupun simbol yang terdapat dalam gamelan seperti itu dianggap sebagai bentuk penyembahan kepada berhala. Jadi, dari pemahaman tersebut praktiknya orang-orang GKJ dilarang untuk menabuh, mendengarkan, bahkan memiliki gamelan karena tindakan yang demikian sama dengan menyekutukan Tuhan yang diimani dengan dunia roh yang dipenuhi kuasa kegelapan kuasa jahat. Slametan bagi yang sudah Meninggal Dunia Slametan khususnya bagi yang sudah meninggal dunia merupakan tradisi Jawa terkait dengan pemahaman bahwa yang sudah meninggal dunia agar senantiasa mendapatkan keselamatan di akhirat. Widiasih mengatakan bahwa sesaji yang diberikan pada saat ritual slametan adalah bentuk pengharapan atau doa dari keluarga yang telah ditinggal meninggal dunia agar roh yang meninggal akan tenang dan dalam keadaan baik di alam baka tanpa ada gangguan sedikit pun serta senantiasa dalam lindungan roh yang menyatakan bahwa kenduri ritual di dalamnya berisi slametan adalah media bagi orang-orang Jawa dalam menjaga keselarasan jagad gedhé termasuk dunia roh nenek moyang dengan jagad cilik termasuk dunia batin orang Jawa. Dengan demikian ritual Rahayu Supanggah, Bothèkan Karawitan I Jakarta Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2002. Sastrokasmojo, Gendhing Gerejawi Perjumpaan Kekristenan dengan Agama Islam dan Budaya Jawa. Supanggah, Bothèkan Karawitan I. Ester Pudjo Widiasih, “The Ritualization of Remembering the Dead among The Christian Javanese A Study Of Liturgical Contextualization In A Reformed Church In Indonesia” Drew University Madison New Jersey Amerika, 2012. Labeti Pandangan Gereja Kristen Jawa GKJ Terhadap Budaya Dalam Konteks Masyarakat Jawa Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print70 slametan merupakan bentuk penghormatan orang Jawa kepada leluhur yang telah tiada sehingga terjadi keseimbangan alam nyata dengan alam slametan khususnya terkait meninggalnya seseorang biasanya dilakukan dengan berdasar hitungan tertentu juga berdasar hitungan hari baik. Widyatmanta mengatakan bahwa slametan dalam tradisi Jawa dilaksanakan setidaknya tujuh kali, yaitu surtanah menggusur tanah, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, pendhak pisan setahun, pendhak pindho dua tahun, dan seribu hari. Masing-masing ritual slametan tersebut disiapkan sesaji tertentu menurut kemampuan yang punya pelaksanaan slametan yang terkait dengan dunia roh tersebut menurut gereja Belanda merupakan bentuk penyekutuan iman kepada Tuhan dengan kepercayaan kepada roh leluhur. Dengan kata lain tindakan tersebut merupakan bentuk kekafiran yang harus dijauhkan dari kehidupan kekristenan yang suci. Menurut iman gereja Belanda bahwa dunia nyata tidak dapat berkomunikasi dengan dunia kekal. Seseorang yang telah meninggal dunia, nyawa atau rohnya ada dalam kuasa Yesus Kristus sehingga dengan cara apa pun yang dilakukan manusia tidak akan dapat mengubah eksistensi arwah atau roh yang telah tiada tersebut. Bahkan dengan dasar bahwa kebangkitan Yesus dari kematian merupakan bukti bahwa dunia roh yang jahat dan gelap telah dikalahkan-Nya. Iman Kristen adalah beriman terhadap kehidupan kekal yang dijamin keadaannya dalam naungan kasih Tuhan. Dengan demikian, gereja Belanda menjauhkan budaya slametan dari kehidupan orang-orang GKJ agar iman mereka tidak disinkretisasi dengan adat istiadat yang terkait dunia roh nenek moyang. Merawat Kubur dan Menghias Kubur Orang yang Sudah Meninggal Menghormati seseorang atau leluhur yang sudah meninggal dunia merupakan bagian dari alam kebatinan orang Jawa. Agar terjadi keseimbangan antara jagad gedhé dan jagad cilik, maka menghormati seseorang yang sudah meninggal menjadi bagian penting adat istiadat masyarakat Jawa. Sastrokasmojo mencatat ritual yang dilakukan orang Jawa terkait dengan kuburan seseorang, yaitu Nyandhi atau memasang nisan sebagai penanda identitas, nyekar atau tabur bunga di atas kubur sebagai tanda ikatan batin dengan yang sudah meninggal, nyadran atau upacara membersihkan kubur leluhur yang dilakukan pada bulan Ruwah menjelang puasa, dan ngirim luhur atau mengirimkan doa agar yang meninggal Sastrokasmojo, Gendhing Gerejawi Perjumpaan Kekristenan dengan Agama Islam dan Budaya Jawa. Siman Widyatmanta, Sikap Gereja terhadap Budaya dan Adat-Istiadat Yogyakarta Badan Musyawarah Gereja-gereja Jawa, 2007. Jurnal Teologi Berita Hidup, Vol 4, No 1, September 2021 Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print71 dunia diampuni dosanya oleh Sang tersebut tampaknya perpaduan dari budaya asli Jawa dengan tradisi Islam yang kemudian membudaya di kalangan orang Jawa. Ritual-ritual terkait dengan kubur leluhur tersebut menurut misionaris Belanda sangat bertentangan dengan ajaran Alkitab. Dalam perspektif Kristen, seseorang yang sudah mati tidak dapat berkomunikasi melalui media apa pun karena alamnya sudah berbeda. Berikutnya bahwa seseorang yang sudah meninggal dan mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan, maka ada jaminan atas kehidupan di jagad orang mati sehingga keluarga yang ditinggalkan tidak perlu mengirim doa bagi keselamatan yang sudah meninggal karena yang sudah meninggal pasti selamat oleh karena kasih karunia Yesus Kristus. Demikian juga ritual tabur bunga di atas pusara adalah tindakan memuja roh nenek moyang dengan memberi sesaji atau makanan kepada mereka; padahal mereka yang sudah meninggal tidak dapat melakukan apa pun termasuk makan secara fisik. Dengan dasar tersebut, maka orang-orang GKJ tidak diperkenankan untuk melakukan ritual-ritual terkait kubur. Lima contoh tradisi atau ritual orang Jawa yang dilarang dilakukan oleh orang-orang GKJ tersebut menunjukkan sikap gereja Belanda terhadap budaya Jawa. Adat istiadat Jawa merupakan manifestasi budaya yang didasari oleh okultisme terhadap roh nenek moyang, penyembahan berhala, animisme, dan tidak dapat dijelaskan secara logis. Itulah sebabnya GKJ pada awal lahirnya pada abad XVIII tercerabut dari akar budaya Jawa, sehingga menjadi imitasi gereja Belanda yang ada di tanah Jawa. Pelanggaran terhadap larangan bersinggungan dengan budaya Jawa akan mendatangkan “hukuman” secara kelembagaan sehingga orang-orang tersebut tidak diperkenankan mengikuti ritual Perjamuan Kudus, dapat dicabut hak serta kewajibannya sebagai anggota gereja, bahkan dapat diekskomunikasi atau dikucilkan dari gereja. Perubahan Paradigma GKJ terhadap Budaya Jawa Buah penginjilan misionaris Belanda di tanah Jawa menghasilkan gereja yang seperti asalnya, baik dalam hal pengajaran, paradigma bergereja, maupun praktik kehidupan gereja di tengah masyarakat. Keberadaan GKJ sejak tahun 1931 berada dalam bayang-bayang Sastrokasmojo, Gendhing Gerejawi Perjumpaan Kekristenan dengan Agama Islam dan Budaya Jawa. Perjamuan Kudus adalah ritual yang diadakan oleh gereja secara rutin pada waktu tertentu. Ritual tersebut untuk mengenang peristiwa perjamuan terakhir the last supper pada malam sebelum Yesus Kristus disalibkan. Ritual tersebut bertujuan mendidik anggota gereja untuk mengenang peristiwa dan mengajak jemaat untuk menghargai pengurbanan Yesus Kristus sehingga berdampak terhadap perilaku kehidupan yang dilandasi kebenaran. Labeti Pandangan Gereja Kristen Jawa GKJ Terhadap Budaya Dalam Konteks Masyarakat Jawa Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print72 gereja Belanda berdampak tercerabutnya budaya Jawa dari kehidupan sehari-hari orang Jawa; demikian pula berdampak terhadap sistem bergereja GKJ yang tidak pernah mengakomodasi budaya Jawa dalam praktik bergereja. Diskursus tentang Injil dan kebudayaan muncul dalam persidangan-persidangan klasis maupun sinode. Hal ini menunjukkan bahwa lambat laun GKJ menyadari identitas dirinya sebagai gereja yang berbasis budaya Jawa, bukan gereja Kristen yang ditanamkan begitu saja oleh gereja Belanda di tanah Jawa. Itu berarti bahwa GKJ mulai menyadari bahwa kebudayaan perlu disikapi dengan bijaksana sehingga kebudayaan Jawa tidak terpisah jauh dari praktik kehidupan bergereja; karena bagaimana pun juga orang-orang GKJ tidak dapat dipisahkan dari budaya peninggalan nenek moyang. Di sisi lain, orang-orang GKJ seringkali melakukan praktik budaya Jawa dengan sembunyi-sembunyi. Kesadaran menjawab budaya diterangi kekristenan dalam sejarah GKJ tampak sebagai berikut. Titik Pijak Keterbukaan GKJ terhadap Budaya Diskursus Injil dan budaya yang tidak terjawab baik melalui persidangan gereja setempat sampai dengan tingkat klasis, akhirnya dijadikan materi pembicaraan di tingkat sinode. Soekotjo menyampaikan bahwa pada Sidang Sinode GKJ kedua tahun 1932, materi yang dijadikan bahan persidangan di antaranya menyangkut tentang sunat dan wayang. Soekotjo juga menyampaikan bahwa pada Sidang Sinode kelima tahun 1936, persoalan baru muncul terkait dengan penggunaan gamelan dalam ibadah terkait sunat, wayang, dan gamelan tersebut tidak terselesaikan dengan baik, gereja pada saat itu masih bersikukuh bahwa praktik kebudayaan dalam kehidupan bergereja atau orang-orang GKJ tidak diperkenankan karena akan merusak ranah kesucian kekristenan. Dirjosanjoto mencatat laporan Nathanael Daldjoeni sebagai anggota Komisi Studi Kemasyarakatan GKJ bahwa pada tahun 1966 komisi tersebut memberikan laporan kepada Sinode GKJ terkait dengan tugas yang telah dilakukan. Komisi tersebut memberikan saran kepada Sinode di antaranya agar Sinode melakukan peninjauan ulang pandangan GKJ terhadap budaya, mempelajari upacara-upacara adat yang bersinggungan dengan kehidupan gereja, menelaah kembali adatrecht atau peraturan tentang adat. Dalam praktik kehidupan, kenyataannya orang-orang GKJ mencampurkan secara tidak langsung antara tata cara Kristen dan budaya Jawa. Di sisi lain ada bentuk baru tata cara Kristen menghilangkan unsur-unsur Jawa. Namun demikian, dalam tradisi Jawa tertentu yang masih tampak kuat Soekotjo, Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa Jilid 1. Dirjosanjoto, Sumber-sumber tentang Sejarah Gereja Kristen Jawa 1896-1980. Jurnal Teologi Berita Hidup, Vol 4, No 1, September 2021 Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print73 unsur magisnya contohnya ritual di kubur leluhur, maka gereja dengan tegas menolak unsur-unsur tersebut. Tetapi jika dalam praktiknya ritual atau upacara Jawa yang hanya sebagai lambang contohnya kembar mayang dapat digunakan dalam praktik kehidupan gereja. Melalui laporan komisi tersebut, GKJ diharapkan mampu membuang makna dalam ritual-ritual Jawa dan memberikan makna baru diterangi Injil. Keterbukaan wacana GKJ terhadap budaya tampak pada tahun 1967 melalui persidangan Sinode GKJ ke sepuluh. Wacana tentang Injil dan kebudayaan yang menjadi pembicaraan pada Sidang Sinode sebelumnya dirangkum dan diikat menjadi sebuah keputusan sehingga pada tahun 1967 GKJ membentuk Dinas Komunikasi Massa atau disebut juga Komisi Komunikasi Massa KOKOMAS. Soekotjo memaparkan keberhasilan KOKOMAS dalam menjembatani Injil dan kebudayaan sehingga pada masa tersebut KOKOMAS berhasil membuahkan produk-produk kesenian yang signifikan terhadap perkembangan kesenian di gereja-gereja setempat. Soekotjo menyebutkan bahwa produk KOKOMAS di antaranya adalah sendratrari “Sepuluh Dara” dan “Natal” dengan nuansa Jawa, mengolah “Jaran Kepang” walaupun masih terkendala dengan unsur magis dalam pementasannya, memproduksi tulisan-tulisan drama seperti “Panggilan di Balik Tirai Mari” dan “Beksa Anggawa Pralaya”, mengadakan festival drama KOKOMAS, upgrading dalang-dalang Kristen, munculnya tembang Kristen Langen Sekar Pamuji dengan tokoh Sudarsono Wignyosaputro, dan produk seni lainnya. KOKOMAS tersebut menjadi puncak dialog Injil dan kebudayaan sehingga melalui kerja KOKOMAS menjadi tangan panjang GKJ dalam menjembatani kedua hal yang pada kurun waktu sebelumnya menjadi persoalan yang paradoks. Dokumen-dokumen tersebut membuktikan upaya GKJ untuk menegaskan bahwa orang-orang Jawa tidak dapat dipisahkan dari kebudayaannya. Setidaknya dokumen tersebut menjadi titik pijak GKJ dalam membangun wacana yang akomodatif terhadap budaya Jawa dengan memberikan makna baru secara kristiani. Dengan demikian praktik budaya baru tersebut tidak akan bertentangan dengan Injil dan orang-orang GKJ dapat terus menghidupi budaya warisan nenek moyang. Pembaruan Ajaran Gereja GKJ yang lahir tahun 1931, menjalani kehidupan bergereja dengan mengadopsi segala sesuatu dari gereja Belanda. Pakaian beribadah yaitu orang-orang GKJ harus menggunakan celana, rok, sepatu fantovel, dasi, dan lainnya; bukan surjan, blangkon, Soekotjo, Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa Jilid 2. Labeti Pandangan Gereja Kristen Jawa GKJ Terhadap Budaya Dalam Konteks Masyarakat Jawa Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print74 nyamping, dan selop. Iringan ibadah menggunakan organ, bukan gamelan. Bangunan gereja mengacu pada arsitektur Barat, bukan arsitektur Jawa. Bahkan dalam ajaran gereja pun, GKJ tetap mewarisi ajaran gereja Belanda. Padahal dalam pengajaran gereja Belanda tersebut terdapat akidah-akidah terkait dengan sikap gereja terhadap agama lain termasuk golongan Katolik, tentang konsep keselamatan melalui Yesus Kristus yang hanya satu-satunya jalan manusia menjadi selamat dan tidak ada yang lain, demikian pula hal-hal tentang praktik kehidupan di dunia yang tidak pernah disistematisasikan dalam praksis yang nyata. Kesadaran identitas dan konteks GKJ di tengah masyarakat Jawa bukan hanya tampak dari wacana-wacana dialog Injil dan budaya yang akhirnya menghasilkan keputusan-keputusan Sidang Sinode yang strategis dan memunculkan ruang bagi masuk serta berkembangnya budaya Jawa dalam praktik kehidupan bergereja; namun tentang ajaran warisan gereja Belanda pun tidak luput dari pergumulan untuk dikontekstualisasikan dengan zamannya. Maka pada tahun 1996, dalam persidangan Sinode terbatas yaitu sidang yang membahas hal tertentu, GKJ memasuki babak baru dalam hal pengajaran. Pada persidangan tersebut diputuskan penggunaan Pokok-pokok Ajaran Gereja GKJ PPA GKJ menggantikan buku Piwulang Agami Kristen Pengajaran Agama Kristen yang digunakan sebagai buku pengajaran katekisasi sejak tahun 1931. Digunakannya PPA GKJ tahun 1996 di lingkungan GKJ sebagai buku pedoman pengajaran gereja, dampaknya ada keterkejutan terkait dengan iman atau kepercayaan yang telah diwarisi dari Gereja Belanda sejak tahun 1931. Dalam PPA GKJ tersebut tampak pembaruan paradigma GKJ dalam hal sikap terhadap agama lain bahwa GKJ terbuka mengakui adanya kebenaran yang diimani oleh agama lain sikap inklusif dan secara khusus juga dibahas sikap GKJ terhadap budaya. GKJ mengakui bahwa kebudayaan merupakan segala sesuatu yang dihasilkan manusia baik dari tingkat yang paling sederhana sampai dengan tingkat paling modern. Kebudayaan terkait dengan pembuatan perkakas serta cara menggunakannya, bahasa serta adat istiadat, agama serta kepercayaan, nilai-nilai serta pengubahannya, ilmu pengetahuan serta filsafat, dan beraneka ragam kesenian. Namun demikian GKJ juga menyadari bahwa kebudayaan sebagai hasil cipta dan karya manusia dalam melaksanakan tugas kebudayaan yang diberikan Allah sejak zaman penciptaan, maka kebudayaan tidak dapat lepas dari cidera manusiawi kelemahan manusia atau dapat dikatakan dalam kebudayaan pun terkandung kelemahan. Oleh karena itu GKJ mengajarkan bahwa dalam menyikapi kenyataan kebudayaan yang demikian maka 1. Kebudayaan harus dihargai. 2. Bersikap kritis terhadap kebudayaan. 3. Memperbaiki kesalahan dalam kebudayaan sehingga praktik kebudayaan di Jurnal Teologi Berita Hidup, Vol 4, No 1, September 2021 Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print75 kalangan GKJ tidak menyimpang dari pengajaran Kristen. PPA GKJ tersebut dapat dikatakan sebagai puncak dialog antara Injil, budaya, dan konteks zaman sehingga terdapat kebaruan-kebaruan pengajaran GKJ termasuk sikap GKJ terhadap budaya. Praktik Kebaruan Paradigma GKJ tentang Budaya Sejak 1931 sampai dengan 1996, GKJ masih dalam bayang-bayang pengajaran gereja Belanda, sehingga orang-orang GKJ masih belum berani terang-terangan mengakomodasi budaya sebagai bagian dari kehidupan bergereja. Pada kenyataannya, sejak lahirnya GKJ tersebut praktik-praktik budaya Jawa dengan “baju baru” dilakukan oleh orang-orang GKJ untuk mengelabui gereja supaya tindakan mereka tidak dicap sebagai tindakan berdosa. Meskipun GKJ telah memiliki KOKOMAS pada tahun 1967 dengan tujuan untuk mengembangkan kebudayaan yang diterangi Injil Yesus Kristus, praktik kebudayaan Jawa masih berada di bawah bayang-bayang pengajaran gereja Belanda. Puncak keterbukaan GKJ dalam berbagai perspektif yaitu dengan munculnya PPA GKJ tahun 1996. Dalam kurun waktu 1931 sampai dengan 1996, GKJ melakukan eksperimen-eksperimen dialog Injil dan budaya, sehingga pada kurun waktu tersebut tampak beberapa budaya Jawa yang masuk lingkungan gereja, di antaranya Bidstond Mèngeti ingkang Sampun Séda Bidstond persekutuan doa mèngeti ingkang sampun séda memperingati yang sudah meninggal sebenarnya berasal dari budaya slametan yang dipraktikkan dalam masyarakat Jawa. Bidstond tersebut dibungkus dengan kebaruan sehingga makna asli dari slametan disesuaikan dengan ajaran Kristen. Bidstond keluarga Kristen bukan untuk mendoakan yang sudah meninggal agar selamat, tetapi tujuan melakukan bidstond ala GKJ terkait dua unsur yaitu 1. Unsur spiritual Bidstond ala GKJ untuk mendoakan keluarga yang ditinggalkan sehingga semakin dikuatkan dalam melanjutkan hidup. 2. Unsur sosial Keluarga yang ditinggalkan mengucap syukur atas anugerah penghiburan dan kekuatan dari Tuhan sehingga membagikan berkat kepada sesama manusia tetangga, jemaat gereja, mitra, dan siapa pun yang diundang dalam acara tersebut. Pelaksanaan bidstond ala GKJ ada yang sesuai dengan perhitungan hari dalam pelaksanaan slametan dengan tujuan menghargai produk budaya warisan nenek moyang. Di sisi lain, pelaksanaan bidstond ala GKJ tersebut ada yang tidak tepat dengan perhitungan hari pelaksanaan slametan. Menurut budaya Jawa, acara slametan harus dilaksanakan pada hari tertentu dengan hitungan tertentu. GKJ mengizinkan pelaksanaan ritual tersebut dengan Tim, Pokok-pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa Salatiga Sinode GKJ, 2005. Labeti Pandangan Gereja Kristen Jawa GKJ Terhadap Budaya Dalam Konteks Masyarakat Jawa Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print76 tujuan menghormati pengajaran Alkitab bahwa semua hari yang diciptakan Tuhan adalah baik dan tidak ada hari yang paling baik dari hari yang lain; semua sama di hadapan Tuhan karena Dialah yang menciptakan dengan sungguh amat baik adanya. Gendhing Gerejawi Sejak tahun 1931, dalam praktik ibadahnya GKJ hanya memperbolehkan menggunakan 1. Alat musik sebagai pengiring ibadah yaitu organ. 2. Repertoar hanya dari Kidung Pasamuwan Kristen yang semuanya menggunakan laras diatonis. 3. Zangkoor paduan suara diizinkan menjadi bagian dalam ibadah reguler hari Minggu. Ketertutupan gereja Belanda terhadap segala bentuk budaya Jawa lambat laun dipertimbangkan ulang oleh GKJ sehingga muncullah kebaruan dalam hal seni musik di kalangan GKJ. Fakta sejarah GKJ membuktikan bahwa pada tahun 1970 Sudarsono Wignyosaputro menjadi pionir GKJ tatkala menciptakan gendhing-gendhing gerejawi yang didokumentasikan menjadi Langen Sekar Pamuji dan masih digunakan sampai dengan saat ini. Era 1970 tersebut juga menjadi zaman keterbukaan GKJ terhadap instumen gamelan sehingga instrumen musik tradisional tersebut mulai diterima masuk ke dalam gedung gereja. Walaupun saat ini gereja se-Sinode GKJ berjumlah 331 gereja dengan 32 klasis, namun tidak semua gereja memiliki gamelan. Alasan sebagian besar GKJ tidak memiliki instrumen gamelan di antaranya adalah 1. Harga seperangkat gamelan yang cukup mahal. 2. Ibadah yang menggunakan gamelan belum dapat dirasakan rasa Jawanya, berbeda dengan instrumen musik Barat seperti organ. 3. Pelestari dan penikmat gendhing-gendhing Jawa di kalangan GKJ umumnya adalah orang-orang GKJ yang berusia di atas 50 tahun. Setidaknya dengan fakta tersebut membuktikan bahwa gendhing dan gamelan di dalam gereja bukan suatu hal yang tabu atau dipandang terkait dengan dunia roh nenek moyang. Gamelan sudah diterima GKJ masuk dalam peribadahan gerejawi sebagai alternatif instrumen karunia Tuhan yang digunakan sebagai bagian integral musik ibadah GKJ. Kelompok Kesenian Inter-religius Tatkala GKJ melahirkan KOKOMAS pada tahun 1967, di lapangan pelayanan GKJ sebenarnya telah terbentuk kelompok-kelompok seni yang berkembang di zamannya, di antaranya sebagai berikut 1. Kelompok karawitan. 2. Seni kethoprak. 3. Wayang dalam hal ini Wayang Wahyu, Wayang Perjanjian yang adegan-adegan dalam pementasan sejalan dengan ajaran Kristen. 4. Kelompok keroncong. 5. Kelompok kulintang. Kelompok-kelompok seni yang dikembangkan oleh gereja-gereja se-Sinode GKJ tersebut melibatkan juga pihak dari luar gereja khususnya yang beragama Islam. Di lapangan Jurnal Teologi Berita Hidup, Vol 4, No 1, September 2021 Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print77 ditemukan bahwa pengrawit atau penabuh gamelan, pelatih karawitan, arranger gendhing gerejawi, pemain kethoprak, dan kelompok seni lainnya tidak seratus persen warga gereja GKJ. Keterbukaan terhadap agama lain menjadi titik pijak gereja-gereja dalam mengembangkan seni budaya di gereja-gereja kalangan GKJ. Hal tersebut terjadi setidaknya karena adanya perkembangan paradigma teologi GKJ terutama sikap terhadap agama-agama lain sehingga pelaku-pelaku seni di kalangan GKJ bekerjasama dengan saudaranya yang beragama lain untuk mengembangkan kesenian tradisional tersebut. Kenyataan yang demikian membuktikan bahwa GKJ mulai menyadari eksistensinya sebagai bagian dari masyarakat Jawa yang berbudaya Jawa. Warisan-warisan gereja Belanda lambat laun disikapi dengan arif dan bijaksana sehingga tidak serta merta meninggalkan atau menghapus begitu saja sejarah gereja masa lalu. Dengan sikap akomodatif terhadap kebudayaan Jawa, gereja memberi warna baru dalam diskursus Injil dan kebudayaan; sehingga GKJ masa kini sudah akrab dengan budayanya sendiri. Khitan Tradisi khitan yang dapat ditemukan dalam tradisi Alkitab maupun yang dipraktikan oleh masyarakat Jawa, pada awalnya memang menjadi persoalan dalam ranah dogma atau ajaran gereja. Gereja Belanda begitu keras menolak orang-orang Jawa yang akan mengkhitankan anaknya. Sanksi tegas sampai dikeluarkan dari keanggotaan gereja dapat diberlakukan gereja pada masa lalu bagi orang-orang GKJ yang melanggar larangan tersebut. Mulai tahun 1970, kesadaran berdialog dengan tradisi khitan menunjukkan hasil yang cukup signifikan. Orang-orang GKJ yang melakukan khitan bagi anaknya pada era tersebut tidak lagi mendapatkan sanksi gerejawi, karena gereja mengalami pergeseran paradigma dalam memandang hal khitan. Bahwa khitan yang dipahami GKJ sejak masa tersebut bukan sebagai inisiasi terkait dengan tradisi Islam, tetapi khitan dimaknai dari sisi kesehatan bahwa pengeratan saat khitan bertujuan untuk kesehatan reproduksi anak laki-laki yang nantinya akan beranjak menjadi dewasa. Oleh karena itu pada masa kini sekalipun gereja mengetahui ada orang-orang GKJ yang mengkhitankan anaknya, mereka tidak akan diekskomunikasi oleh gereja. Bahkan gereja memfasilitasi jika keluarga yang mengkhitankan anaknya mengucap syukur kepada Tuhan melalui pelayanan bidstond keluarga atas khitan yang akan atau sudah terjadi. Labeti Pandangan Gereja Kristen Jawa GKJ Terhadap Budaya Dalam Konteks Masyarakat Jawa Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print78 Lembaga Kajian Budaya Jawa Konservatori Kebaruan dalam organisasi GKJ bukan hanya dalam hal pengajaran maupun paradigma terkait praktik-praktik kehidupan orang-orang GKJ. Sinode GKJ melakukan penataan kelembagaan agar GKJ mempunyai jejaring yang lebih luas dan dengan jejaring tersebut cakupan pelayanan lebih maksimal. Maka, pada Mei tahun 2006, dibentuklah Lembaga Kajian Budaya Jawa Lemkabuja Sinode GKJ. Tujuan didirikan lembaga tersebut untuk memelihara kesadaran GKJ tentang Injil dan budaya sehingga diharapkan muncul paradigma-paradigma baru yang menjawab tantangan zaman. Selain itu lembaga tersebut bertujuan mengkaji nilai-nilai budaya Jawa sehingga praktik budaya dalam kehidupan GKJ mendukung tugas panggilan gereja di tengah dunia yaitu mendatangkan damai sejahtera. Target kerja Lemkabuja Sinode GKJ tersebut adalah penulisan buku-buku yang terkait budaya, menerbitkan jurnal Lemkabuja, mengadakan kajian-kajian budaya bekerja sama dengan lembaga lain, mengadakan festival-festival budaya seperti festival keroncong, festival gendhing gerejawi, dan kegiatan lain yang terkait dengan budaya. Lembaga tersebut bukan lembaga yang sama sekali baru dalam sejarah GKJ. Tujuan dan arah lembaga tersebut pada dasarnya hampir sama dengan Dinas Komunikasi Massa atau KOKOMAS yang pernah dimiliki GKJ tahun 1967. Setidaknya dengan adanya lembaga yang core pelayanannya adalah budaya Jawa sekalipun bentuknya seperti KOKOMAS dengan “baju baru,” lembaga tersebut menjadi bukti semakin terbukanya GKJ terhadap budaya Jawa dan upaya GKJ dalam menggunakan budaya sebagai bagian integral dalam kehidupan bergereja. Penutup Menjadi gereja yang berbasis budaya Jawa bukan gereja Kristen Belanda yang ditanamkan di tanah Jawa adalah keniscayaan bagi GKJ. Terbuka kesempatan luas bagi GKJ terkait dengan budaya maupun adat istiadat warisan nenek moyang sehingga GKJ benar-benar menjadi gereja yang berbasis budaya Jawa. Kekristenan yang telah diwarisi dari gereja Belanda menjadi dasar iman GKJ, sementara budaya Jawa digunakan sebagai sarana pengembangan pelayanan GKJ dalam menjalani panggilan di dunia bersama dengan masyarakat Jawa untuk mewujudkan damai sejahtera dalam kehidupan bersama sejalan dengan falsafah Jawa memayu hayuning bawana. Ada alternatif atau upaya-upaya untuk membangun kerangka konseptual gereja yang berbasis budaya Jawa sebagai berikut. Gereja yang Kontekstual Gereja bukan suatu komunitas iman yang terpisah dari dunia, tetapi gereja ditempatkan Tuhan di tengah dunia untuk mengembangkan kehidupan yang lebih beradab Jurnal Teologi Berita Hidup, Vol 4, No 1, September 2021 Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print79 khususnya menggunakan jalur kebudayaan. Pendekatan kebudayaan menjadi jembatan yang paling arif dalam membangun jejaring antara GKJ dengan pihak di luar gereja baik agama lain maupun masyarakat setempat. Pieris berpendapat bahwa agama-agama di Asia memiliki sumber profetik-politis maka gereja harus menyadari bahwa ada konsep kebenaran yang diimani dan diyakini dalam agama lain. Demikian pula teologi Barat yang menutup kebudayaan dalam praktik bergereja seharusnya menjadi sebuah kesadaran gereja bahwa tugas panggilan gereja salah satunya memerdekakan asumsi-asumsi tentang kebudayaan Timur yang kadang dinilai terkait roh jahat dan rendah. Tampak bahwa Pieris mengajak gereja untuk berpikir secara liberal walaupun penafsiran ulang atas teks Alkitab dan proses kontekstualisasi gereja akan menghasilkan paradigma baru dalam karya pelayanan gereja di tengah lembaga maupun persidangan sinode menjadi wahana bagi GKJ untuk mengkontekstualisasikan pengajaran Alkitab sehingga GKJ mampu menjawab tantangan zaman khususnya tentang budaya yang menjadi bagian hidup gereja setempat. Bisa jadi warna Injil dan kebudayaan di masing-masing gereja berada berbeda-beda karena konteks dan kultur masyarakat Jawa yang juga heterogen budaya Jawa Timur, pesisir Utara atau Selatan pantai Jawa, budaya pengaruh Kraton Yogyakarta atau pun Solo, Jawa Barat, dan budaya metropolitan. Realitas kultur masyarakat yang hidup di sekitar gereja harus disikapi dengan kebaruan paradigma sehingga GKJ makin membumi atau menjawa. GKJ dan Budaya Baru Ajaran-ajaran Alkitab jika dikomparasikan dengan falsafah hidup orang Jawa akan ditemukan titik temu yang tidak bertentangan, misalnya 1. Konsep Jawa tentang Sangkan Paraning Dumadi prima kausa dalam bahasa teknis Kristen disebut Tuhan. 2. Hitungan-hitungan hari baik dalam khasanah pemikiran Jawa tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, seribu hari dapat ditemukan juga dalam Alkitab yaitu Tiga hari Yesus Kristus mengalahkan maut di dunia kegelapan orang mati neraka, tujuh hari Tuhan Allah menciptakan alam semesta, empat puluh hari Yesus Kristus berpuasa di padang gurun, seratus orang dalam pasukan yang disiapkan Musa untuk melawan musuh bangsa Israel, dan konsep kerajaan seribu tahun yang ditemukan dalam kitab terakhir Alkitab. 3. Pengajaran-pengajaran tentang kasih kepada sesama manusia misalnya dalam konsep Jawa terdapat pengajaran aja njiwit yèn ora péngin dijiwit jangan mencubit jika tidak ingin dicubit; di Aloysius Pieris, Berteologi dalam Konteks Asia Yogyakarta Kanisius, 1996. Labeti Pandangan Gereja Kristen Jawa GKJ Terhadap Budaya Dalam Konteks Masyarakat Jawa Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print80 dalam Alkitab pun dapat ditemukan ajaran yang sama bahwa “apa yang engkau kehendaki dilakukan oleh saudaramu kepadamu, lakukanlah demikian terhadap mereka.” Pengajaran Injil dan budaya Jawa terdapat titik temu yang dapat dikembangkan menjadi sebuah kebudayaan baru. Sukarto memberikan saran kepada GKJ bahwa GKJ seharusnya mampu membuat tradisi baru dalam kendurèn warga gerejanya dengan terminologi andum bujana asih sharing a meal of love atau perjamuan berbagi kasih. Sukarto mengatakan bahwa dalam konsep kosmologi Jawa jagad gedhé dan jagad cilik terjalin dengan erat sehingga manusia Jawa sangat menghargai alam sebagai bagian dari hidupnya; demikian pula dengan makanan yang dihasilkan dari bumi. Sukarto menawarkan tradisi tersebut tidak lain berdasar komparasi tradisi Perjamuan Kudus yang diperintahkan Yesus Kristus untuk diteruskan pengikut-Nya ritual makan dan minum bersama menjelang Yesus Kristus disalibkan di bukit Golgota dengan tradisi slametan yang terdapat juga doa atau ujub kemudian acara makan serta minum bersama dengan tetangga maupun saudara yang punya mengupayakan kontekstualisasi Injil di tengah masyarakat Jawa maka akan terbangun konstruksi berpikir teologi gereja yang lebih menjawa. Demikian pula ketika GKJ terpanggil untuk terus melakukan terobosan-terobosan dalam membangun budaya baru transformasi budaya setempat dan Injil maka GKJ semakin dirasakan kehadirannya di tengah masyarakat serta semakin menjadi bagian penting dari masyarakat sebagai pewaris maupun pelestari budaya Jawa peninggalan nenek moyang. KESIMPULAN Identitas GKJ yang terbangun dari bagian masyarakat suku Jawa semakin tampak dengan paradigma yang terbuka terhadap budayanya sendiri. Sinergi antara GKJ dengan budaya Jawa menguatkan kehadiran gereja di tengah masyarakat sehingga harapan memayu hayuning bawana mempercantik dunia dengan damai sejahtera semakin mewujud. Gereja yang lepas dari akar budayanya akan menjadi gereja yang terasing dari masyarakatnya sendiri. REFERENSI Banawiratma, J. B. Yesus Sang Guru Pertemuan Kejawen dengan Injil. Yogyakarta Yayasan Kanisius, 1977. Aristarchus Sukarto, “Witnessing to Christ Through Eucharist A Proposal for the Java Christian Churches to Contextualize and to Communicate the Gospel to Its Community” Lutheran School of Theology Chicago, 1993. Jurnal Teologi Berita Hidup, Vol 4, No 1, September 2021 Copyright© 2021; Jurnal Teologi Berita Hidup, ISSN 2654-5691 online, 2656-4904 print81 Dahlstrom, Daniel, O. Philosophy of Mind and Phenomenology Conceptual and Empirical Approach. New York Routledge, 2016. Dirjosanjoto, Pradjarta. Sumber-sumber tentang Sejarah Gereja Kristen Jawa 1896-1980. Salatiga Sinode GKJ, 2008. Kronegger, Marlies. Phenomenology and Aesthetics. Dordrecht The Netherlands Kluwer Academic Publisher, 1991. Küster, Volker. The Many Faces of Jesus Christ. London SCM Press, 1999. Lombard, Denys. Nusa Jawa Silang Budaya Bagian I Batas-batas Pembaratan. Jakarta Gramedia, 2008. Niebuhr, N. Richard. Kristus dan Kebudayaan. Jakarta Yayasan Satya Karya, Pieris, Aloysius. Berteologi dalam Konteks Asia. Yogyakarta Kanisius, 1996. Sastrokasmojo, Padmono. Gendhing Gerejawi Perjumpaan Kekristenan dengan Agama Islam dan Budaya Jawa. Yogyakarta Duta Wacana University Press, 2017. Scheiter, Robert J. Rancang Bangun Teologi Lokal. Jakarta PT. BPK Gunung Mulia, 1993. Soekotjo, Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa Jilid 1. Yogyakarta Taman Pustaka Kristen, 2009. ———. Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa Jilid 2. Yogyakarta Taman Pustaka Kristen, 2010. Sukarto, Aristarchus. “Witnessing to Christ Through Eucharist A Proposal for the Java Christian Churches to Contextualize and to Communicate the Gospel to Its Community.” Lutheran School of Theology Chicago, 1993. Supanggah, Rahayu. Bothèkan Karawitan I. Jakarta Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2002. Suparno, T. Slamet. Pakeliran Wayang Purwa Dari Ritus sampai Pasar. Surakarta ISI Press Solo, 2011. Sutrisno, Mudji. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta PT. Kanisius, 2005. Tim. Pengajaran Agama Kristen Katekismus Heidelberg. Salatiga Sinode GKJ, 1983. ———. Pokok-pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa. Salatiga Sinode GKJ, 2005. Widiasih, Ester Pudjo. “The Ritualization of Remembering the Dead among The Christian Javanese A Study Of Liturgical Contextualization In A Reformed Church In Indonesia.” Drew University Madison New Jersey Amerika, 2012. Widyatmanta, Siman. Sikap Gereja terhadap Budaya dan Adat-Istiadat. Yogyakarta Badan Musyawarah Gereja-gereja Jawa, 2007. ... For instance, Rumbay et al. 2022;Rumbay 2021aRumbay , 2021b offer a harmony between Christian leadership and Minahasan philosophy, pneumatology and ancestral spirits practice and against any lack of cultural accommodation, and culinary identity and Adventism. Therefore, Labeti 2021 argues that the church ought to be more hospitable and open to any local culture. ...Stimson HutagalungChristar Arstilo Rumbay Rolyana FeriniaThe integration or inculturation of religion and culture has been massively and controversially discussed despite being successfully presented by Islam Nusantara. Therefore, this study attempts to delve into the possibilities of integrating Christianity into the culture of Indonesia by seeking the Islam Nusantara experience. The study employed a qualitative method, using literature, articles, books and related references, and attempted to reconstruct the Islamic dimension concerning inculturation. Subsequently, the opportunity for Christianity will be displayed and formulated to establish a hospitable religion. This will offer a chance to improve and develop its identity regarding integration into the local culture by respecting without destroying, contextualising without syncretising and negotiating without compromising. Contribution This article contributes to the ongoing debates on culture and Christianity in Indonesia. Islam Nusantara offers an opportunity and example of how religion and culture should collaborate. The expectation is that the collaboration will display a solid formation to other contexts in Asia or Africa that could arrange a fruitful conversation between culture and Soehadha Ustadi HamsahDisease prevention is almost always done with a modern approach through medical science or other public health sciences. This approach is the primary reference in mitigating the spread of the disease. In fact, in Indonesian society, there are local wisdoms in the traditions of each ethnic group in tackling the spread of disease, for example, the Javanese tradition. Javanese culture has local wisdom in dealing with pandemics passed down from generation to generation. This study attempts to answer how the mitigation pattern in Javanese culture is. Anthropologically, pandemics can be studied under health anthropology on disease. By taking the case of the Javanese people in Indonesia, this article describes local ways of preventing and overcoming disease outbreaks or mitigating disease outbreaks. The data source of this article is produced from qualitative research through interview techniques, focus group discussions, online seminars, and the study of manuscripts from magazines published in Java. The results showed that local communities, in addition to knowing the causes of disease, also developed ways to prevent and eliminate diseases, and mitigate outbreaks and pandemics. Javanese people see the mitigation of diseases physically and psychically. Physical mitigation tends to be in line with modern medical methods and the application of new normal. The mitigation of psychics is done by using mantras and songs and developing Javanese attitude of “narima ing pandum” take it as it comes.Roy Martin SimanjuntakHidup menggereja adalah sebuah aktualisasi iman dalam masyarakat, yang mampu meghadirkan Allah di tengah dunia. Gereja seringkali melupakan perannya di tengah masyarakat karena terfokus kepada masalah-masalah spiritualitas secara interen. Panggilan hidup menggereja dalam bingkai relasi sosial sebenarnya sebuah upaya gereja dalam menciptakan dan membangun dimensi-dimensi sosial di dalam masyarakat dengan tujuan supaya gereja berpartisifasi dalam membangun persatuan, keharmonisan dalam bermasyarakat dan bernegara. Dalam penelitian ini ditemukan beberapa hal yang harus dipahami oleh orang percaya di dalam hidup menggereja; pertama hidup menggereja dalam bingkai relasi sosial memiliki dasar teologis. Kedua, hidup menggereja di tengah bangsa Indonesia harus memahami keragaman dalam beragama, kekayaan budaya serta memahami adanya kesenjangan sosial dalam masyarakat. Metode yang dipakai dalam penelitian ini studi pustaka dengan pendekatan kualitatif Kroneggerand the one in the middle which judges as he enjoys and enjoys as he judges. This latter kind really reproduces the work of art anew. The division of our Symposium into three sections is justified by the fact that phenomenology, from Husserl, Heidegger, Moritz Geiger, Ingarden, in Germany and Poland, Merleau-Ponty, Paul Ricoeur, E. Levinas in France, Unamuno in Spain, and Tymieniecka, in the United States, have revealed striking coincidences in trying to answer the following questions What is the philosophical vocation of literature? Does literature have any significance for our lives? Why does the lyric moment, present in all creative endeavors, in myth, dance, plastic art, ritual, poetry, lift the human life to a higher and authentically human level of the existential experience of man? Our investigations answer our fundamental inquiry What makes a literary work a work of art? What makes a literary work a literary work, if not aesthetic enjoyment? As much as the formation of an aesthetic language culminates in artistic creation, the formation of a philosophical language lives within the orbit of creative imagination. Aristarchus SukartoThesis Th. D.-Lutheran School of Theology at Chicago, 1993. Includes bibliographical references leaves 250-284. Microfiche. sYesus Sang Guru Pertemuan Kejawen dengan InjilJ B BanawiratmaBanawiratma, J. B. Yesus Sang Guru Pertemuan Kejawen dengan Injil. Yogyakarta Yayasan Kanisius, of Mind and Phenomenology Conceptual and Empirical ApproachDaniel DahlstromDahlstrom, Daniel, O. Philosophy of Mind and Phenomenology Conceptual and Empirical Approach. New York Routledge, Many Faces of Jesus ChristVolker KüsterKüster, Volker. The Many Faces of Jesus Christ. London SCM Press, Yayasan Satya Karya, Pieris, Aloysius. Berteologi dalam Konteks Asia. Yogyakarta Kanisius, 1996. Sastrokasmojo, Padmono. Gendhing Gerejawi Perjumpaan Kekristenan dengan Agama Islam dan Budaya JawaN NiebuhrRichardKristus Dan KebudayaanNiebuhr, N. Richard. Kristus dan Kebudayaan. Jakarta Yayasan Satya Karya, Pieris, Aloysius. Berteologi dalam Konteks Asia. Yogyakarta Kanisius, 1996. Sastrokasmojo, Padmono. Gendhing Gerejawi Perjumpaan Kekristenan dengan Agama Islam dan Budaya Jawa. Yogyakarta Duta Wacana University Press, Bangun Teologi LokalRobert J ScheiterScheiter, Robert J. Rancang Bangun Teologi Lokal. Jakarta PT. BPK Gunung Mulia, Gereja-gereja Kristen Jawa Jilid 1. Yogyakarta Taman Pustaka KristenS H SoekotjoSoekotjo, Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa Jilid 1. Yogyakarta Taman Pustaka Kristen, 2009. -. Sejarah Gereja-gereja Kristen Jawa Jilid 2. Yogyakarta Taman Pustaka Kristen, 2010.
sikap kristen terhadap kebudayaan yang tepat adalah